Beranda | Artikel
Kecelakaan Lalu Lintas, Bagaimana Islam Menghukuminya?
Senin, 19 Mei 2014

KECELAKAAN MAUT DI TUGU TANI, BAGAIMANA ISLAM MENGHUKUMINYA?

Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin, MA

Seperti telah diketahui oleh khalayak ramai, pada tanggal 22 Januari 2012 telah terjadi sebuah kecelakaan maut yang mengejutkan masyarakat di Indonesia. Sejauh ini beberapa fakta terpenting yang tercatat dari peristiwa ini adalah sebagai berikut:

  1. Mobil yang menabrak dikemudikan oleh seorang wanita dan ditumpangi oleh tiga orang temannya.
  2. Mobil tersebut menabrak kerumunan orang yang berada di trotoar, tiga belas orang menjadi korban, dan sembilan di antaranya akhirnya meninggal dunia.
  3. Pengemudi mengaku bahwa rem mobil blong, namun penyelidikan menunjukkan bahwa rem dalam keadaan baik.
  4. Sebelum kecelakaan terjadi, para penumpang mobil telah melakukan pesta minuman keras dan obat terlarang.

Opini yang berkembang di media, penabrak akan dijerat dengan pasal tentang kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, dengan hukuman maksimal enam tahun penjara. Banyak pihak yang berpendapat bahwa hukuman ini tidak adil dan terlalu ringan. Belakangan, polisi juga akan menjeratnya dengan pasal yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan dengan cara atau keadaan yang membahayakan nyawa bisa dijerat hukuman maksimal dua belas tahun penjara jika korban meninggal dunia.

Lantas bagaimana Islam menghukumi kasus ini? Tulisan singkat ini mencoba mengupas hal ini berdasarkan fakta-fakta di atas; untuk menjelaskan bahwa hukum Allah-lah yang paling adil, dan bahwa Islamlah ajaran yang paling melindungi jiwa. Saat tulisan ini ditulis, penyidikan masih berlangsung. Proses pengadilan kasus ini nantinya juga bisa memunculkan fakta-fakta baru.

PEMBUNUHAN YANG TIDAK DISENGAJA (AL-QATL AL-KHATHA’)
Ada tiga kategori pembunuhan yang disebutkan dalam al-Qur`ân dan Hadits, yaitu pembunuhan yang disengaja (‘amd), semi sengaja (syibh ‘amd) dan tidak disengaja (khatha`). Pembunuhan yang tidak disengaja adalah: pembunuhan yang tidak dimaksudkan, atau dimaksudkan dengan obyek tertentu, tapi mengenai orang lain.[1] Dengan demikian, jelas bahwa kecelakaan ini termasuk al-qatl al-khatha`; karena telah terjadi kematian tanpa ada maksud membunuh dari sang pengemudi mobil.

Pembunuhan kategori ini memiliki beberapa konsekuensi yaitu:
1. Tidak ada qishâsh (hukuman berupa tindakan yang sama dengan kejahatan pelaku). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا

Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan tidak sengaja, (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka bersedekah (tidak mengambilnya).” [an-Nisâ/4:92].

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla tidak menyebutkan qishâsh di antara kewajiban yang harus dilakukan pelaku qatl khatha`. Dan pembunuhan yang menyebabkan qishâsh hanyalah pembunuhan yang disengaja (‘amd).[2]

2. Kewajiban membayar diyât, sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Adapun besarnya adalah seratus ekor unta untuk setiap jiwa Muslim pria. Dalam Sunan an-Nasâ’i hadits no. 4871, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis dalam surat beliau:

فِي النَّفْسِ مِئَةٌ مِنَ الإِبِلِ

Diyat nyawa adalah seratus ekor unta.”

Ibnu Hibbân rahimahullah dan al-Hâkim rahimahullah menghukumi shahih hadits ini, sementara al-Albâni melemahkannya. Namun kandungan hadits ini disepakati oleh seluruh Ulama, sebagaimana dinukil oleh Imam Syâfi’i rahimahullah, Imam Ibnul Mundzir rahimahullah dan Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah.[3]

Diyat untuk Muslimah adalah setengahnya, yakni lima puluh ekor. Jika tidak ada unta, diyat bisa dibayarkan dengan uang senilai seratus ekor unta[4]. Dan berbeda dengan pembunuhan disengaja yang diyatnya ditanggung oleh penabrak, pembayaran diyat ini ditanggung oleh ahli waris penabrak, yaitu keluarga dari pihak ayah, dan bisa diangsur selama tiga tahun.[5]

3. Kewajiban membayar kaffârah, yaitu dengan membebaskan budak Mukmin sebagaimana penjelasan ayat di atas, atau jika tidak ada, berpuasa dua bulan berturut-turut. Allâh Azza wa Jalla berfirman di ayat yang sama:

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ

Maka barangsiapa yang tidak memperolehnya, (hendaklah ia) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allâh.” [an-Nisâ/4:92]

Besaran kaffârah ini disesuaikan dengan jumlah korban meninggal menurut pendapat sebagian Ulama. Jadi dengan sembilan korban tewas, penabrak harus membebaskan sembilan budak Mukmin, atau berpuasa dua bulan berturut-turut sembilan kali[6]. Sementara sebagian Ulama berpendapat cukup dengan satu kaffârah saja[7].

Adapun korban luka, jika luka yang dialami mengakibatkan hilangnya anggota tubuh atau hilangnya fungsi anggota, syariah Islam juga telah mewajibkan diyât masing-masing secara terperinci. Demikian pula biaya pengobatan mereka dan barang-barang yang rusak akibat kecelakaan menjadi tanggungan penabrak[8].

TIDAK PERLU TA’ZIR UNTUK KASUS INI
Di samping hukuman-hukuman yang telah ditetapkan berupa qishâsh, diyât, kaffârat dan hudûd, Islam juga memberikan wewenang kepada pemerintah untuk memberikan hukuman yang setimpal kepada rakyat yang melanggar; demi mewujudkan kemaslahatan dan kehidupan yang diridhai Allâh Azza wa Jalla . Hukuman-hukuman yang tidak ditentukan syariat ini disebut ta’zir, dan bisa berupa hukuman cambuk, penjara, pengasingan, denda, hingga hukuman mati. Pada kasus-kasus tertentu yang membahayakan negara atau kehidupan rakyat banyak, pemerintah bisa menerapkan hukuman mati[9]. Namun karena dalam kasus ini syariat telah menetapkan hukumannya berupa diyât dan kaffârah, tidak perlu lagi ada ta’zir[10].

HUKUMAN MINUM KHAMR DAN NARKOBA
Di samping hukuman atas pembunuhan yang tidak disengaja, penabrak juga harus menjalani hukuman akibat minum khamr dan pil ekstasi yang dilakukannya sebelum mengemudi. Hukuman atas kesalahan ini tetap harus ditegakkan, meski penabrak harus menghadapi hukuman atas kesalahan yang lebih besar, yaitu pembunuhun tidak disengaja[11].

Hukuman minum khamr –menurut pendapat yang rajih- adalah ta’zir, bukan hudûd, jadi diserahkan kepada kebijakan pemerintah. Namun, sebaiknya ketetapan ta’zir yang dijatuhkan tidak kurang dari bentuk ta’zir paling ringan yang diriwayatkan dalam Hadits, yaitu empat puluh cambuk[12].

Para Ulama menjelaskan bahwa narkoba lebih berbahaya dari khamr, karenanya layak dihukum lebih berat. Hukumannya juga berupa ta’zîr, dan jika ta’zîr atas penggunaaan narkoba sudah ditegakkan, maka ta’zîr atas minum khamr tidak perlu lagi, karena maksud dari kedua hukuman ini sama, yaitu hifzhul ‘aql (pemeliharaan akal). Hal ini dikenal oleh para fuqaha sebaga teori tadakhul (tumpang tindih), yakni memberikan satu hukuman saja (yang terberat), jika kedua hukuman memiliki maksud yang sama [13].

PENUTUP
Dari paparan di atas, jelas bahwa syariat Allâh Azza wa Jalla lebih adil dan lebih melindungi jiwa dibanding undang-undang produk manusia. Syariat Islam memberikan hukuman yang berat untuk penabrak dan memberikan diyat untuk korban. Ada juga kaffârah yang akan membantu menyucikan jiwa penabrak di sisa umurnya, dan mengurangi beban mentalnya. Karena kesalahan penabrak dilakukan tanpa kesengajaan, diyât dibebankan kepada ahli waris dan bisa diangsur. Ini adalah bentuk keadilan lain, di mana ahli waris tidak selalu beruntung dengan mendapat warisan, tapi juga kadang harus membantu orang yang akan mereka warisi. Jika orang tahu bahwa jika menabrak ia tidak hanya akan merepotkan dirinya, tapi juga keluarga besarnya, ia tentu akan lebih hati-hati lagi dalam berkendara.

Sungguh adil dan sempurna syariat Islam. Semoga Allâh Azza wa Jalla membimbing umat Islam menegakkan syariat Allâh Azza wa Jalla di hati mereka dan menuntun para pemimpin umat untuk menegakkannya di negeri-negeri mereka.

رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا

REFERENSI

  1. As-Sirâj al-Wahhâj Kitâb al-Jirâh, Badruddîn az-Zarkasyi, tesis di Universitas Islam Madinah.
  2. Asy-Syarh al-Mumti’, Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, Dar Ibnil Jauzi.
  3. At-Tasyrî’ al-Jinâ`i al-Islâmi, ‘Abdul Qadir ‘Audah, Maktabah Dar at-Turats.
  4. Beberapa sumber dari internet.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] As-Sirâj al-Wahhâj hal. 87
[2] As-Sirâj al-Wahhâj hal. 87
[3] Al-Umm 12/379 , al-Isyrâf 2/133, dan at-Tamhîd 17/381
[4] As-Sirâj al-Wahhâj hal. 480
[5] As-Sirâj al-Wahhâj hal. 737, at-Tasyrî’ al-Jinâ`i al-Islâmi 2/176
[6] Ahkâm Hawâdits al-Murûr fi asy-Syarî’ah al-Islâmiyyah, bab Khâtimah. (http://www.islamfeqh.com/Nawazel/NawazelItem.aspx?NawazelItemID=760)
[7] http://www.islamfeqh.com/Nawazel/NawazelItem.aspx?NawazelItemID=1344
[8] http://www.saaid.net/Doat/Zugail/222.htm
[9] Asy-Syarh al-Mumti’ 14/303, 317, http://www.alfawzan.af.org.sa/index.php?q=node/5683
[10] Asy-Syarh al-Mumti’ 14/311.
[11] At-Tasyrî’ al-Jinâ`i al-Islâmi 1/648
[12] Lihat asy-Syarh al-Mumti’ 14/295
[13] Lihat at-Tasyrî’ al-Jinâ`i al-Islâmi 1/646


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3920-kecelakaan-lalu-lintas-bagaimana-islam-menghukuminya.html